Abnormalitas kebudayaan Jepang mengungkap fakta bahwa tidak semua hal yang berkaitan dengan Jepang mempunyai nilai lebih yang dapat menjadi panutan bangsa lain. Abnormalitas kebudayaan adalah istilah yang merujuk pada fenomena atau aspek budaya yang dianggap tidak sesuai dengan norma-norma atau ekspektasi sosial dalam suatu masyarakat tertentu. Ini mencakup perilaku, praktik, atau nilai-nilai yang dianggap aneh, anormal, atau tidak konvensional oleh mayoritas masyarakat dalam konteks budaya mereka.
Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu tradisi, kebiasaan yang dianggap lazim dilakukan dalam suatu rumpun bangsa atau lingkungan masyarakat tertentu yang dipengaruhi oleh cara hidup, perilaku sekelompok orang secara turun-temurun. Kebudayaan bukan hanya berupa tarian dan lagu tradisional namun nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Definisi kebudayaan menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut:
- Arikunto memaparkan bahwa kebudayaan merupakan hasil budidaya manusia yang diwujudkan dalam bentuk benda, bahasa, simbol yang berpengaruh terhadap perilaku kehidupan sekelompok masyarakat.
- Koentjaraningrat memaparkan bahwa ditinjau dari ilmu antropologi kebudayaan dapati dikategorikan sebagai sistem gagasan, perilaku atau tindakan dan hasil karya manusia dalam aktivitasnya sebagai bagian dari masyarakat.
- Luzbetak berpendapat kebudayaan merupakan way of life atau cara hidup dan mempunyai karakteristik sebagaimana sistem organisasi yang merupakan rancangan hidup.
Kebudayaan Jepang
Jepang dikenal sebagai negara maju dan mampu bersaing dalam hal menciptakan teknologi canggih sekaligus menjaga sebagian tradisi dan kebudayaan asli bangsanya, sayang dalam perkembangannya kebudayaan Jepang banyak terpengaruh kebudayaan Eropa yang mungkin tidak sesuai dengan nilai-nilai bangsa timur.
Kebudayaan Jepang cukup terkenal di seluruh dunia. Pakaian adat kimono, upacara minum teh, menghormati pihak lain dengan cara membungkukkan badan adalah bentuk kebudayaan Jepang yang masih cukup populer hingga saat ini.
Hara-kiri yaitu tindakan bunuh diri ketika kehormatan pribadi dianggap telah tercoreng. Sebagai bagian dari kebudayaan Jepang masa lalu, Hara-kiri tidak lagi dilakukan di zaman sekarang.
Namun, kebudayaan mempunyai rasa malu jika dianggap melakukan tindakan yang tidak sepantasnya masih terlihat pada generasi tua, seperti mengundurkan diri dari jabatan sebagai pejabat tinggi negara jika terbukti melakukan tindak pidana korupsi seperti yang pernah dilakukan beberapa menteri Jepang. Itu semua adalah bukti bahwa masyarakat Jepang masih memegang teguh nilai-nilai sosial yang berkaitan dengan harga diri.
Kebudayaan Jepang yang Dianggap Tidak Sesuai
Selain kecerdasan bangsa Jepang yang dianggap di atas rata-rata, tingkat kedisiplinan yang tinggi dan kebudayaan yang mencerminkan tingginya penghargaan Jepang terhadap kehormatan diri ternyata terdapat abnormalitas kebudayaan Jepang yang dapat ditemukan.
Kebudayaan Jepang yang dianggap bertentangan dengan norma sosial adalah adanya Geisha yang dianggap sebagai wanita penghibur, namun bagi masyarakat Jepang justru keberadaan Geisha patut mendapat penghormatan.
Semakin cakap seorang Geisha menjalankan tugasnya maka kedudukannya di mata masyarakat akan semakin mendapatkan tingkat strata sosial yang tinggi, fenomena ini ditandai dengan munculnya Gion dan Pontocho sebagai kawasan elit sebagai tempat bermukimnya Geisha kelas atas.
Sebagian Geisha mungkin tidak melakukan fungsi sebagai “wanita penghibur” dalam konteks secara seksual atau bagian dari praktik prostitusi namun inti dari pekerjaannya sendiri sebenarnya adalah menghibur tamu, pelanggan yang datang. Perbedaan Geisha dengan wanita penghibur lainnya adalah seorang Geisha wajib memiliki keterampilan yang berkaitan dengan kebudayaan Jepang.
Wanita Geisha tidak hanya harus pandai berdandan dengan dandanan khas Geisha yaitu make up tebal, kimono dengan bagian tengkuk yang rendah sehingga menonjolkan kemulusan kulit dan leher yang jenjang, bersanggul besar serta mengenakan alas kaki dari kayu dengan bagian alas cukup tebal.
Seorang Geisha juga wajib menguasai tarian dan nyanyian tradisional Jepang klasik, memahami tata cara menyajikan teh dalam upacara minum teh, bagaimana adat melayani tamu serta menentukan jenis teh tertentu yang harus disajikan, menguasai salah satu alat musik tradisional beserta cara memainkannya dengan mahir dan keterampilan lain termasuk merangkai bunga (Ikebana).
Begitu pentingnya ketrampilan yang harus dikuasai seorang Geisha hingga sekolah khusus Geisha pun lazim ditemui di Jepang. Pelatihan keterampilan bagi Geisha pun dilakukan sejak usia dini, layaknya pelatihan kursus keterampilan atau job training dalam perekruitan karyawan, seorang calon Geisha didampingi Geisha senior dalam mempelajari tata cara menjadi seorang Geisha yang piawai.
Masyarakat Jepang mungkin berusaha menutupi fakta sebenarnya dan menyatakan bahwa Geisha bukanlah wanita penghibur sebagaimana menurut anggapan orang namun novel Memoirs of Geisha karya Arthur Golden yang menceritakan biografi Mineko Iwasaki sebagai mantan Geisha mengungkap kenyataan bahwa sebenarnya Geisha takberbeda dengan wanita penghibur biasa.
Fenomena ini menunjukkan bahwa Jepang menempatkan wanita penghibur sebagai sosok yang sangat dihormati, berbeda dengan opini masyarakat umum di negara lain yang mungkin menganggap wanita penghibur sebagai golongan masyarakat dan seringkali dicaci maki.
Abnormalitas Kebudayaan Jepang
Abnormalitas kebudayaan Jepang yang lain adalah pelegalan terhadap transeksual (operasi ganti kelamin) dan menganggap homoseksual adalah hal yang wajar. Kebudayaan yang menimbulkan pro kontra ini dianggap sebagai salah satu pengaruh buruk dari kebudayaan negara barat.
Kaum gay atau homoseksual di Jepang berinteraksi secara bebas di tengah masyarakat, berbeda dengan di Indonesia misalnya meskipun mungkin ada sekelompok orang berperilaku seksual menyimpang seperti menjadi gay atau lesbian (penyuka sesama wanita) komunitas dan perilaku mereka biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tersamar.
Gaya hidup dengan perilaku seksual menyimpang ini bahkan sempat diungkapkan dalam sebuah komik berseri dan menjadi bahan bacaan cukup populer di Negara Jepang. Salah satu komik tersebut berjudul Free Punch, sebuah komik yang mengisahkan kehidupan homoseksual seorang guru Amano Nao dan siswa sekolah menengah bernama Yamada.
Kehidupan kaum homoseksual di Jepang dianggap sesuatu yang biasa seperti jalinan asmara pada umumnya dan bukan merupakan hal tabu untuk dibicarakan serta diangkat menjadi tema film dan komik. Bahkan kartun atau komik di Jepang mengenal istilah khusus “Yaoi” sebagai singkatan dari Yamanashi yang berarti tidak mempunyai klimaks atau puncak, Ochinasi atau Iminashi artinya tidak berarti atau tidak berguna sebagai penyebutan terhadap tokoh homoseksual.
Begitupula halnya dengan komik Free Punch yang bisa dibaca masyarakat luas. Dalam Free Punch dikisahkan bahwa seorang siswa SMA bernama Yamada menjalin hubungan homoseksual dengan sang guru Amano Nao dan jalinan asmara tersebut diangggap orangtua Yamada sebagai sesuatu yang biasa.
Mereka hanya menganggap kedekatan hubungan Yamada dan Amano Nao karena sang guru sangat perhatian kepada perkembangan siswanya meskipun sang guru sering meluangkan waktu berdua saja dengan Yamada dan Yamada juga sering bertandang ke rumah Amana Nao.
Teman–teman sekolah Yamada pun tidak menganggap serius pengakuannya bahwa ia sangat menyukai Pak Guru Amana Nao. Kehidupan keduanya digambarkan berlangsung wajar tanpa ada hal yang dianggap melanggar norma sosial.
Kebebasan media massa Jepang dalam mengungkap kehidupan kaum homoseksualitas dalam kehidupan sehari-hari menggambarkan bahwa perilaku yang di negara lain dianggap tabu di Jepang justru dipandang sebagai hal wajar dan tidak melanggar norma social.
Hal ini menunjukkan fakta bahwa di balik kecanggihan teknologi dan kuatnya Jepang memegang tradisi terdapat abnormalitas kebudayaan Jepang.